Rabu, 16 Desember 2009

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)


Apa yang dimaksud dengan AMDAL?

AMDAL merupakan singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan.

Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.

AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

"...kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup; dibuat pada tahap perencanaan..."

Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau kegiatan.

Dokumen AMDAL terdiri dari :

Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)

Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.

Apa guna AMDAL?

Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan

"...memberikan alternatif solusi minimalisasi dampak negatif"

"...digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberi ijin usaha dan/atau kegiatan"

Bagaimana prosedur AMDAL?

Prosedur AMDAL terdiri dari :

Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping)
Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.

Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat. Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.

Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi ANDAL (proses pelingkupan).

Proses penilaian KA-ANDAL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL).

Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

Siapa yang harus menyusun AMDAL?

Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.

Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL harus telah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan ahli di bidangnya. Ketentuan standar minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor 09/2000.

Siapa saja pihak yang terlibat dalam proses AMDAL?

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan.

Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.

Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.

Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.

Apa yang dimaksud dengan UKL dan UPL ?

Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).

Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.

Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia.

UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan.

Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi :

Identitas pemrakarsa
Rencana Usaha dan/atau kegiatan
Dampak Lingkungan yang akan terjadi
Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
Tanda tangan dan cap
Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada :

Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota
Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu propinsi atau lintas batas negara


Apa kaitan AMDAL dengan dokumen/kajian lingkungan lainnya ?

AMDAL-UKL/UPL

Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL (lihat penapisan Keputusan Menteri LH 17/2001). UKL-UPL dikenakan bagi kegiatan yang telah diketahui teknologi dalam pengelolaan limbahnya.

AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Wajib

Bagi kegiatan yang telah berjalan dan belum memiliki dokumen pengelolaan lingkungan hidup (RKL-RPL) sehingga dalam operasionalnya menyalahi peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup, maka kegiatan tersebut tidak bisa dikenakan kewajiban AMDAL, untuk kasus seperti ini kegiatan tersebut dikenakan Audit Lingkungan Hidup Wajib sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 30 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan yang Diwajibkan.

Audit Lingkungan Wajib merupakan dokumen lingkungan yang sifatnya spesifik, dimana kewajiban yang satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya kecuali terdapat kondisi-kondisi khusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Kegiatan dan/atau usaha yang sudah berjalan yang kemudian diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak membutuhkan AMDAL baru.

AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Sukarela

Kegiatan yang telah memiliki AMDAL dan dalam operasionalnya menghendaki untuk meningkatkan ketaatan dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat melakukan audit lingkungan secara sukarela yang merupakan alat pengelolaan dan pemantauan yang bersifat internal. Pelaksanaan Audit Lingkungan tersebut dapat mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 42 tahun 1994 tentang Panduan umum pelaksanaan Audit Lingkungan.

Penerapan perangkat pengelolaan lingkungan sukarela bagi kegiatan-kegiatan yang wajib AMDAL tidak secara otomatis membebaskan pemrakarsa dari kewajiban penyusunan dokumen AMDAL. Walau demikian dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa karena sifatnya akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan lingkungan sekaligus dapat "memperbaiki" ketidaksempurnaan yang ada dalam dokumen AMDAL.

Dokumen lingkungan yang bersifat sukarela ini sangat bermacam-macam dan sangat berguna bagi pemrakarsa, termasuk dalam melancarkan hubungan perdagangan dengan luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah Audit Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang diatur dalam ISO 14000, dokumen-dokumen yang dipromosikan penyusunannya oleh asosiasi-asosiasi industri/bisnis, dan lainnya.

Sumber :
http://www.menlh.go.id/index.php?idx=amdalnet

Sumber Gambar:
http://www.republika.co.id/images/news/2009/01/20090106175329.jpg

Dokumen Amdal Palsu Marak di Tangerang Selatan

Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) Banten menemukan sejumlah dokumen palsu analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang dibuat beberapa biro konsultan.

Tim Komisi Amdal Kota Tangsel Achmad Suherman menyatakan, sejumlah arsip unit pengelolaan lingkungan (UPL) dan unit kelola lingkungan (UKL) maupun amdal milik pemrakarsa melalui biro konsultan dibuat tidak jujur. "Dokumen UPL, UKL dan amdal itu merupakan hasil dari `copy paste` atau plagiat yang dibuat para biro konsultan yang diserahkan kepada kita," kata Achmad di Tangerang, Sabtu.

Achmad menyatakan, dalam pemeriksaan dokumen UPL dan UKL serta amdal yang diajukan sejumlah biro konsultan, Tim Komisi Amdal menemukan dokumen yang diajukan pemrakarsa melalui biro konsultan itu dengan sengaja merubah dokumen asli dengan tulisan baru.

Kecurigaan ini setelah Tim Komisi Amdal Tangsel menelisik izin amdal pembangunan sebuah sekolah di Bintaro, Kota Tangsel, dimana dalam dokumen itu tertera Pemerintah Jakarta Barat, bukan Pemkot Tangsel.

Temuan itu tidak hanya sekali, kata dia, Tim Komisi Amdal Tangsel juga menemukan lebih dari 20 dokumen hasil copy paste yang diajukan konsultan. "Dokumen palsu yang dibuat konsultan sebagai salah satu cara agar penerbitan izin amdal bisa dikeluarkan pemerintah daerah setempat," ujar dia yang juga sebagai Kepala Bidang Pengkajian Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Tangsel ini.

Terkait persoalan tersebut, Tim Komisi Amdal Tangsel akan melakukan pembenahan dan menindak tegas pemrakarsa ataupun konsultan yang membuat dokumen amdal palsu. Tim Komisi Amdal Tangsel juga akan mengajukan dokumen amdal palsu itu kepada Kepala BLHD Tangsel agar menolak menandatangani rekomendasi dokumen plagiat tersebut.

Karena, lanjut Achmad, berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 11 Tahun 2006, menjelaskan setiap jenis usaha wajib dilengkapi dokumen amdal dan melaporkan kepada BLHD Kota Tangsel setiap semester. "Tetapi dokumen amdal palsu tersebut memberikan dampak yang tidak baik dalam tata tertib administrasi tersebut," kata Acmad.

Dia menyatakan, pihaknya akan terus meneliti dokumen setiap bab atau lembar yang diajukan konsultan dan tidak akan membiarkan dokumen plagiat marak di Tangsel. (Ant)

Sumber :
http://www.tvone.co.id/berita/view/24036/2009/09/26/dokumen_amdal_palsu_marak_di_tangerang_selatan/
26 September 2009

Dokumen Amdal di Kalbar Banyak "Copy Paste"

Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang diajukan pihak perusahaan maupun pihak konsultan amdal ke Komisi Amdal Provinsi Kalimantan Barat, kualitasnya dinilai masih rendah. Acapkali ditemukan dokumen amdal yang hanya menjiplak dokumen serupa yang diajukan di tempat lain.

Kepala Bidang Pengembangan Kapasitas Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Kalimantan Barat Odang Prasetyo yang juga menjabat anggota Komisi Amdal Kalbar , Rabu (19/11), mengistilahkan praktek penjiplakan dokumen amdal di daerah lain itu sebagai copy paste atau kontrol gunting.

Penjiplakan tersebut, menurutnya, salah satunya dipengaruhi keterbatasan anggaran dan waktu yang dialokasikan bagi konsultan untuk membuat dokumen amdal.

"Bisa dibayangkan jika untuk membuat amdal areal konsesi sekian ribu hektar, konsultan diberi waktu yang singkat dan anggaran yang sedikit. Praktek (penjiplakan) semacam itu sering kali diambil sebagai jalan pintas," katanya.

Ia mencontohkan, dokumen amdal perluasan landasan pacu salah satu bandara di kabupaten di Kalbar yang diajukan konsultan yang disewa pemerintah daerah setempat. Dalam dokumen amdal itu disebutkan adanya mangrove di sekitar kawasan bandara. Padahal realita di lapangan, di sekitar bandara itu sama sekali tidak ada mangrove.

Sumber :
http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/19/22034214/dokumen.amdal.di.kalbar.banyak.copy.paste
19 November 2008

Amdal Dan 10.000 Studi Yang Menjadi sampah

Bermula dari Amerika Serikat, tahun 1969. The National Enviromental Policy Act of 1969 (NEPA 1969) diperkenalkan sebagai sebuah instrumen untuk mengendalikan dampak segala macam kegiatan yang bisa merusak kelestarian lingkungan. Bentuknya peraturan. Dalam perkembangan selanjutnya, peraturan ini diadopsi oleh banyak negara.

Tahun 1982, Indonesia mengeluarkan undang-undang (UU) lingkungan hidup. Dari sinilah masyarakat Indonesia mengenal istilah analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). UU ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1986, yang kemudian diganti PP Nomor 51 Tahun 1993, dan terakhir diganti lagi dalam PP Nomor 27 Tahun 1999..

Pemerintah membentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Bapedal) melalui Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 untuk melengkapi pelaksanaan peraturan tersebut. Ada tingkat pusat dan daerah, meskipun keduanya tidak memiliki hubungan hierarki struktural. Bapedal pusat kini berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup.

Badan-badan itu menjadi benteng pembela kepentingan ekologi atau lingkungan. Meskipun Pada praktiknya, kepentingan yang hakikatnya adalah kepentingan bersama dan bersifat jangka panjang itu sering terkalahkan oleh kepentingan praktis materialis yang disebut kepentingan ekonomi. Studi amdal menjadi formalitas saja. Seperti disebutkan dalam website Sinar Harapan, sebanyak sepuluh ribu hasil studi amdal di Indonesia teronggok menjadi kertas dokumen tak terlaksanakan.

Di provinsi Jawa Barat Misalnya, sebuah propinsi yang derap pembangunannya deras terasa, pelaksanaan amdal menuai banyak kritik dari para pemerhati lingkungan, salah satunya Walhi Jabar, yang baru-baru ini mengecam keras pembangunan PLTSa. Dugaan manipulasi amdal maupun praktek kolusi pun menyeruak tatkala banyak proyek pembangunan dijalankan sebelum izin amdalnya lolos.
Bermacam proyek seperti mal, rumah sakit, jalan raya, taman nasional, asrama mahasiswa.

Terkait dengan pembangunan dan otonomi daerah, keberpihakan pada lingkungan tetap dinomorduakan. Seperti yang di ungkapkan salah satu staf kementrian Lingkungan Hidup terkait dengan revitalisasi amdal. Pernyataan tersebut yang tersirat tujuannnya hanya untuk memuluskan laju investasi, bukannya semakin memperketat kemungkinan pelanggaran linkungan.. Alhasil, degradasi lingkungan pun semakin meluas.
pembangunan proyek terus dijalankan meski persoalan dampak lingkungannya belum terpikirkan. Lantas kemanakah keberpihakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebagai pengambil keputusan? Semua pihak tak seharusnya menutup mata karena sebenarnya masalah ekologi adalah untuk kepentingan masa depan umat manusia sendiri. Namun inilah dunia amdal. Sebuah penghilangan hak atas lingkungan hidup, bermula dari suatu dokumen bernama amdal.

Proses pengerjaan dokumen amdal yang penuh manipulasi menuai banyak kritik dari para pemerhati lingkungan. Pun kurangnya sosialisasi membuat masyarakat yang seharusnya menjadi pemantau pelaksanaan tidak tahu menahu tentang dokumen tersebut.
?Di Indonesia hampir 84 persen dokumen amdal belum memenuhi syarat, 16 persen berkriteria baik, tapi belum memenuhi syarat ideal,? tukas Harry Supriyono, salah satu pakar amdal dari Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM mengenai kualitas dokumen amdal. ?Banyak yang masih sebatas amdal-amdalan, banyak amdal fotokopi dan amdal fiktif,? ungkapnya.

ebih lanjut ia mengemukakan, saat ini masih banyak terjadi peniruan dokumen amdal. Hanya dengan mengubah tempat, tanggal dan angka, maka pemrakarsa dapat memperoleh dokumen amdal dengan mudahnya.

Tidak adanya kriteria dan indikator penilaian, menjadikan proses penilaian dokemen ini menjadi subyektif. Padahal kajian amdal bersifat obyektif, bukan subyektif karena tunduk pada metodologi.

Penyusunan dokumen amdal memang harus dilakukan secara sistematis, ilmiah, dan berurutan. Sejak tahun 1970 sampai saat ini sudah banyak metode digunakan dalam penyusunan dokumen ini. Metode yang banyak digunakan adalah metode Leopold, Moore dan Sorenson.

Amdal saat ini hanya sebatas alat burgen bagi kepentingan kelompok tertentu. Buktinya, industri-industri besar yang banyak mencemari lingkungan tetap berdiri kokoh dan makin luas. Pemerintah selalu beralasan, jika dengan inustri di suatu daerah dapat meningkatkan PAD dan menyerap tenaga kerja daerah setempat. Namun, pemerintah tidak pernah berpikir jika pembangunan yang di rencanakan bertahun-tahun dapat hilang dalam hitungan detik ketika terkena bencana akibat degradasi lingkungan.
Semua pihak yang saat ini semanagt dalam memperjuangkan lingkungan, mesti fokus untuk terlibat dalam pengawasan ke-objektifan amdal, bila perlu membentuk lembaga pengawas amdal. Hal ini penting penting, krena dari seian kebijakan, Amdal - lah yang paling lemah untuk di awasi oleh masyarakat. Selain pihak berwenang kurang transparan, dokumen amdal sendiri sudah menjadi konnspirasi kelompok yang hanya berpikir tentang keuntungan.

Dalam PP no 27 tahun 1999 di sebutkan, bahwa amdal merupakan kajian bagi dampak besar atau penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup, yang di perlukan bagi proses pengambilan keputusan dalam suatu usaha atau kegiatan. namun kebijakan tersebut ternnyata melemah setelah berbenturan dengan PP 20 no 27 tahun 1999 pasal 9. jika dalam waktu 71 hari, pemerintah belum mengambil keputusan layak atau tidaknya amdal suatu usaha, maka usaha tersebut dinilai layak lingkungan.

tentunya, hal itu memberikan pukulan berat bagi para pecinta lingkungan hidup. Pasalnya, dalam aturan tersebut sangat terbuka ruang kolusi bagi pejabat di pemerintahan terkait dengan tidak mengeluarkan keputusan selama 71 hari.
hal itu berbuntut pada sepuluh ribu dokumen hasil riset mengenai amdal di indonesia hanya masuk ke keranjang sampah tanpa tindak lanjut.

Sumber :
April Perlindungan
http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/02/myposting_10603.html
22 Februari 2008

Analisis Mengenai DAmpak Lingkungan (AMDAL) dan Faktor Recovery Ekonomi

PENDAHULUAN

Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) pertama kali dicetuskan berdasarkan atas ketentuan yang tercantum dalam pasal 16 Undang-undang No.4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan amanat pasal 16 tersebut diundangkan pada tanggal 5 Juni 1986 suatu Peraturan Pemerintah No.29 tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).Peraturan pemerintah (PP) No.29/ 1986 tersebut berlaku pada tanggal 5 Juni 1987 yaitu selang satu tahun setelah di tetapkan. Hal tersbut diperlukan karena masih perlu waktu untuk menyusun kriteria dampak terhadap lingkungan sosial mengingat definisi lingkungan yang menganut paham holistik yaitu tidak saja mengenai lingkungan fissik/kimia saja namun meliputi pula lingkungan sosial.

Berdasarkan pengalaman penerapan PP No.29/1986 tersebut dalam deregulasi dan untuk mencapai efisiensi maka PP No.29/1986 diganti dengan PP No.51/1993 yang di undangkan pada tanggal 23 Oktober 1993. Perubahan tersebut mengandung suatu cara untuk mempersingkat lamanya penyusunan AMDAL dengan mengintrodusir penetapan usaha dan/ atau kegiatan yang wajib AMDAL dengan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan demikian tidak diperlukan lagi pembuatan Penyajian Informasi Lingkungan (PIL). Perubahan tersebut mengandung pula keharusan pembuatan ANDAL , RKL, dan RPL di buat sekaligus yang berarti waktu pembuatan dokumen dapat diperpendek. Dalam perubahan tersebut di introdusir pula pembuatan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bagi kegiatan yang tidak wajib AMDAL. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL) ditetapkan oleh Menteri Sektoral yang berdasarkan format yang di tentukan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup. Demikian pula wewenang menyusun AMDAL disederhanakan dan dihapuskannya dewan kualifikasi dan ujian negara.

Dengan ditetapkannya Undang-undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), maka PP No.51/1993 perlu diganti dengan PP No.27/1999 yang di undangkan pada tanggal 7 Mei 1999, yang efektif berlaku 18 bulan kemudian. Perubahan besar yang terdapat dalam PP No.27 / 19999 adalah di hapuskannya semua Komisi AMDAL Pusat dan diganti dengan satu Komisi Penilai Pusat yang ada di Bapedal. Didaerah yaitu provinsi mempunyai Komisi Penilai Daerah. Apabila penilaian tersebut tidak layak lingkungan maka instansi yang berwenang boleh menolak permohohan ijin yang di ajukan oleh pemrakarsa. Suatu hal yang lebih di tekankan dalam PP No.27/1999 adalah keterbukaan informasi dan peran masyarakat.

Implementasi AMDAL sangat perlu di sosialisasikan tidak hanya kepada masyarakat namu perlu juga pada para calon investor agar dapat mengetahui perihal AMDAL di Indonesia. Karena semua tahu bahwa proses pembangunan di gunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya. Dengan implementasi AMDAL yang sesuai dengan aturan yang ada maka di harapkan akan berdampak positip pada recovery ekonomi pada suatu daerah.

ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL)

Definisi AMDAL

AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/ atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/ atau kegiatan.

Dasar hukum AMDAL

Sebagai dasar hukum AMDAL adalah PP No.27/ 1999 yang di dukung oleh paket keputusan menteri lingkungan hidup tentang jenis usaha dan/ atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL dan keputusan kepala BAPEDAL tentang pedoman penentuan dampak besar dan penting.

Tujuan dan sasaran AMDAL

Tujuan dan sasaran AMDAL adalah untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan dapat berjalan secara berkesinambungan tanpa merusak lingkungan hidup. Dengan melalui studi AMDAL diharapkan usah dan / atau kegiatan pembangunan dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efisien, meminimumkan dampak negatip dan memaksimalkan dampak positip terhadap lingkungan hidup.

Tanggung jawab pelaksanaan 

Secara umum yang bertanggung jawab terhadap koordinasi proses pelaksanaan AMDAL adalah BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan).

Mulainya studi AMDAL

AMDAL merupakan bagian dari studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Sesuai dengan PP No./ 1999 maka AMDAL merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin melakukan usaha dan / atau kegiatan . Oleh karenya AMDAL harus disusun segera setelah jelas alternatif lokasi usaha dan /atau kegiatan nya serta alternatif teknologi yang akan di gunakan.

AMDAL dan perijinan.

Agar supaya pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan , pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan rencana usaha atau kegiatan. Berdasarkan PP no.27/ 1999 suatu ijin untuk melakukan usaha dan/ atau kegiatan baru akan diberikan bila hasil dari studi AMDAL menyatakan bahwa rencana usaha dan/ atau kegiatan tersebut layak lingkungan. Ketentuan dalam RKL/ RPL menjadi bagian dari ketentuan ijin.

Pasal 22 PP/ 1999 mengatur bahwa instansi yan bertanggung jawab (Bapedal atau Gubernur) memberikan keputusan tidak layak lingkungan apabila hasil penilaian Komisi menyimpulkan tidak layak lingkungan. Keputusan tidak layak lingkungan harus diikuti oleh instansi yang berwenang menerbitkan ijin usaha. Apabila pejabat yang berwenang menerbitkan ijin usaha tidak mengikuti keputusan layak lingkungan, maka pejabat yang berwenang tersebut dapat menjadi obyek gugatan tata usaha negara di PTUN. Sudah saatnya sistem hukum kita memberikan ancaman sanksi tidak hanya kepada masyarakat umum , tetapi harus berlaku pula bagi pejabat yang tidak melaksanakan perintah Undang-undang seperti sanksi disiplin ataupun sanksi pidana.

Prosedur penyusunan AMDAL

Secara garis besar proses AMDAL mencakup langkah-langkah sebagai berikut:
1.Mengidentifikasi dampak dari rencana usaha dan/atau kegiatan
2.Menguraikan rona lingkungan awal
3.Memprediksi dampak penting
4.Mengevaluasi dampak penting dan merumuskan arahan RKL/RPL.

Dokumen AMDAL terdiri dari 4 (empat) rangkaian dokumen yang dilaksanakan secara berurutan , yaitu:
1.Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL)
2.Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
3.Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
4.Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)

Pendekatan Studi AMDAL

Dalam rangka untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pelaksanaan AMDAL, penyusunan AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan dapat dilakukan melalui pendekatan studi AMDAL sebagai berikut:
1.Pendekatan studi AMDAL Kegiatan Tunggal
2.Pendekatan studi AMDAL Kegiatan Terpadu
3.Pendekatan studi AMDAL Kegiatan Dalam Kawasan

Penyusunan AMDAL

Untuk menyusun studi AMDAL pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk menyusun AMDAL. Anggota penyusun ( minimal koordinator pelaksana) harus bersertifikat penyusun AMDAL (AMDAL B). Sedangkan anggota penyusun lainnya adalah para ahli di bidangnya yang sesuai dengan bidang kegiatan yang di studi.

Peran serta masyarakat

Semua kegiatan dan /atau usaha yang wajib AMDAL, maka pemrakarsa wajib mengumumkan terlebih dulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun AMDAL. Yaitu pelaksanaan Kep.Kepala BAPEDAL No.08 tahun 2000 tentang Keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses AMDAL. Dalam jangka waktu 30 hari sejak diumumkan , masyarakat berhak memberikan saran, pendapat dan tanggapan. Dalam proses pembuatan AMDAL peran masyarakat tetap diperlukan . Dengan dipertimbangkannya dan dikajinya saran, pendapat dan tanggapan masyarakat dalam studi AMDAL. Pada proses penilaian AMDAL dalam KOMISI PENILAI AMDAL maka saran, pendapat dan tanggapan masyarakat akan menjadi dasar pertimbangan penetapan kelayakan lingkungan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.


PENILAIAN DOKUMEN AMDAL

Penilaian dokumen AMDAL dilakukan oleh Komisi Penilaian AMDAL Pusat yang berkedudukan di BAPEDAL untuk menilai dokumen AMDAL dari usaha dan/atau kegiatan yang bersifat strategis, lokasinya melebihi satu propinsi, berada di wilayah sengketa, berada di ruang lautan, dan/ atau lokasinya dilintas batas negara RI dengan negara lain.

Penilaian dokumen AMDAL dilakukan untuk beberapa dokumen dan meliputi penilaian terhadap kelengkapan administrasi dan isi dokumen. Dokumen yang di nilai adalah meliputi: 1.Penilaian dokumen Kerangka Acuan (KA)
2.Penilaian dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
3.Penilaian Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
4.Penilaian Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)

Penilaian Kerangka Acuan (KA), meliputi:
1.Kelengkapan administrasi
2.Isi dokumen, yang terdiri dari:
a.Pendahuluan
b.Ruang lingkup studi
c.Metode studi
d.Pelaksanaan studi
e.Daftar pustaka dan lampiran

Penilaian Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), meliputi:
1.Kelengkapan administrasi
2.Isi dokumen, meliputi:
a.Pendahuluan
b.Ruang lingkup studi
c.Metode studi
d.Rencana usaha dan /atau kegiatan
e.Rona lingkungan awal
f.Prakiraan dampak penting
g.Evaluasi dampak penting

h.Daftar pustaka dan lampiran

Penilaian Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), meliputi:

1.Lingkup RKL
2.Pendekatan RKL
3.Kedalaman RKL
4.Rencana pelaksanaan RKL

5.Daftar pustaka dan lampiran

Penilaian Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), meliputi:

1.Lingkup RPL
2.Pendekatan RPL
3.Rencana pelaksanaan RPL
4.Daftar pustaka dan lampiran.

KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN
(AMDAL) KABUPATEN/ KOTA.

Komisi tersebut di bentuk oleh Bupati/ Walikota. Tugas komisi penilai adalah menilai KA, ANDAL, RKL, dan RPL. Dalam melaksanakan tugasnya komisi penilai dibantu oleh tim teknis komisi penilai dan sekretaris komisi penilai.

Susunan keanggotaan komisi penilai terdiri dari ketua biasanya dijabat oleh Ketua Dapedalda Kabupaten/Kota, sekretaris yang dijabat oleh salah seorang pejabat yang menangani masalah AMDAL. Sedangkan anggotanya terdiri dari wakil Bapeda, instansi yang bertugas mengendalikan dampak lingkungan, instasi bidang penanaman modal, instansi bidang pertanahan, instansi bidang pertahanan, instansi bidang kesehatan, instansi yang terkait dengan lingkungan kegiatan, dan anggota lain yang di anggap perlu.

Secara garis besar komisi penilai AMDAL dapat terdiri dari unsur-unsur (1) unsur pemerintah;(2) wakil masyarakat terkena dampak; (3) perguruan tinggi; (4) Pakar dan (5) organisasi lingkungan.

Ada semacam kerancuan dalam kebijakan AMDAL dimana dokumen tersebut ditempatkan sebagai sebuah studi kelayakan ilmiah di bidang lingkungan hidup yang menjadi alat bantu bagi pengambilan keputusan dalam pembangunan. Namun demikian komisi penilai yang bertugas menilai AMDAL beranggotakan mayoritas wakil dari instansi pemerintah yang mencermikan heavy bureaucracy , dan wakil-wakil yang melakukan advokasi . Dari komposisi yang ada dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut (1) keputusan kelayakan lingkungan di dominasi oleh suara suara yang didasarkan pada kepentingan birokrasi; (2).wakil masyarakat maupun LSM sebagai kekuatan counter balance dapat dengan mudah terkooptasi (captured or coopted) karena berbagai faktor; (3) keputusan cukup sulit untuk dicapai karena yang mendominasi adalah bukan pertimbangan ilmiah obyektif akan tetapi kepentingan pemerintah atau kepentingan masyarakat/ LSM secara sepihak .

Sebagai seorang pengusaha atau investor , kemana dia harus berkonsultasi jika mereka akan melaksanakan studi AMDAL ?. Sebaiknya konsultasi dapat dilakukan di 3 (tiga) komisi penilai AMDAL, yaitu:

1. Komisi Penilai AMDAL Pusat

2. Komisi Penilai AMDAL Propinsi
3. Komisi AMDAL Kabupaten/ Kota. Tergantung dari jenis rencana kegiatan yang akan di studi AMDAL nya.

EVALUASI PROSES PENILAIAN DOKUMEN AMDAL

Proses dan prosedur penilaian AMDAL secara umum cukup baik yang ditandai dengan singkatnya waktu penilaian , memang waktu penilaian sangat tergantung dari kualitas KA dan dokumen AMDAL nya sendiri.

Kemampuan teknis dan obyektifitas dari penilaian

Anggota komisi penilai yang telah memiliki sertifikat kursus AMDAL A, B, dan C cukup baik secara teknis dan obyektif, lebih profesional serta anggota penilai yang pernah melakukan penyusunan AMDAL walaupun jumlahnya relatif tidak banyak. Anggota komisi penilai yang berasal dari institusi sektoral atau dari pemerintah daerah (bukan dari tim penilai tetap) sering belum banyak menguasai mengenai AMDAL. Penilaian oleh LSM dan wakil dari masyarakat kadang-kadang kurang obyektif. Tim teknis yang ikut duduk di dalam komisi penilai perlu lebih memahami peran bidangnya dalam AMDAL.

Evaluasi keterlibatan masyarakat.

Usaha melibatkan masyarakat dalam penilaian AMDAL cukup memadai dengan dilibatkannya LSM lokal dan Pemerintah daerah (Bappeda), dan tokoh masyarakat.


AMDAL DAN EKONOMI KERAKYATAN

Dengan dilaksanakannya AMDAL yang sesuai dengan aturan, maka akan didapatkan hasil yang optimal dan akan berpengaruh terhadap kebangkitan ekonomi. Kenapa demikian? Dalam masa otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah menganut paradigma baru , antara lain:

1. Sumber daya yang ada di daerah merupakan bagian dari sistem penyangga kehidupan masyarakat, seterusnya masyarakat merupakan sumber daya pembangunan bagi daerah.

2. Kesejahteraan masyarakat merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari kelestarian sumber daya yang ada di daerah.

Dengan demikian maka dalam rangka otonomi daerah, fungsi dan tugas pemerintah daerah seyogyanya berpegang pada hal-hal tersebut dibawah ini:

1. Pemda menerima de-sentralisasi kewenangan dan kewajiban
2. Pemda meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
3. Pemda melaksanakan program ekonomi kerakyatan
4. Pemda menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya di daerah secara konsisten.
5. Pemda memberikan jaminan kepastian usaha
6. Pemda menetapkan sumberdaya di daerah sebagai sumberdaya kehidupan dan bukan sumberdaya pendapatan

KEBERHASILAN IMPLEMENTASI AMDAL DI DAERAH.

Sebagai syarat keberhasilan implementasi AMDAL di daerah adalah:

1.Melaksanakan peraturan/ perundang-undangan yang ada
Contoh:

Sebelum pembuatan dokumen AMDAL pemrakarsa harus melaksanakan Keputusan Kepala Bapedal 8 tahun/ 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL yaitu harus melaksanakan konsultasi masyarakat sebelum pembuatan KA. Apabila konsultasi masyarakat berjalan dengan baik dan lancar, maka pelaksanaan AMDAL serta implementasi RKL dan RPL akan berjalan dengan baik dan lancar pula. Hal tersebut akan berimbas pada kondisi lingkungan baik lingkungan fisik/ kimia, sosial-ekonomi-budaya yang kondusif sehingga masyarakat terbebas dari dampak negatip dari kegiatan dan masyarakat akan sehat serta perekonomian akan bangkit.

2.Implementasi AMDAL secara profesional, transparan dan terpadu.

Apabila implementasi memang demikian maka implementasi RKL dan RKL akan baik pula. Implementai AMDAL, RKL dan RPL yang optimal akan meminimalkan dampak negatip dari kegiatan yang ada. Dengan demikian akan meningkatkan status kesehatan, penghasilan masyarakat meningkat dan masyarakat akan sejahtera. Selain itu pihak industri dan/atau kegiatan dan pihak pemrakarsa akan mendapatkan keuntungan yaitu terbebas dari tuntutan hukum ( karena tidak mencemari lingkungan ) dan terbebas pula dari tuntutan masyarakat ( karena masyarakat merasa tidak dirugikan ). Hal tersebut akan lebih mudah untuk melakukan pendekatan sosial-ekonomi-budaya dengan masyarakat di sekitar pabrik/ industri/ kegiatan berlangsung.


Sumber :

Prof Mukono

http://mukono.blog.unair.ac.id/2009/09/09/analisis-mengenai-dampak-lingkungan-amdal-dan-faktor-recovery-ekonomi/

9 September 2009

Pakar Lingkungan: Jangan Anggap Enteng Amdal !

Pakar lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Surjono Hadi Sutjahjo MS, mengingatkan, Amdal atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hendaknya jangan dianggap enteng atau hanya dijadikan sebagai formalitas untuk memenuhi kewajiban hukum.

Prof Surjono Hadi Sutjahjo, Selasa (13/10), mengatakan, Amdal harus dijadikan sebagai kerangka acuan guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang dilakukan dengan tetap memerhatikan faktor kelestarian lingkungan. Eksploitasi terhadap sumber daya alam dan lingkungan yang dilakukan tetap memerhatikan faktor kelestarian.

"Amdal jangan dianggap enteng. Hasil rekomendasi tim Amdal harus dipatuhi, agar pembangunan yang dilakukan tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan di kemudian hari," kata Koordinator Mayor Pengelolaan Sumberdayaalam dan Lingkungan (PSL) Pascasarjana IPB itu.

Menurut Prof Surjono, Amdal digagas oleh pemerintah sebagai sistem manajemen lingkungan. Melalui Amdal, proyek pembangunan yang dilakukan diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan kemaslahatan secara berkelanjutan.

Pelanggaran terhadap hasil kajian Amdal atau tanpa melakukan Amdal maka pembangunan yang digagas akan membawa dampak berupa kerusakan ekologis sehingga menimbulkan bencana bagi masyarakat.

"Kesadaran terhadap pentingnya menjaga lingkungan demi kemaslahatan dan keselamatan bersama merupakan tanggung jawab semua pihak. Karena itu, Amdal harus dipatuhi dengan sungguh-sungguh," katanya. KSP


Sumber :

http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/10/13/19590091/pakar.lingkungan.jangan.anggap.enteng.amdal.

13 Oktober 2009

AMDAL: Antara Lingkungan Versus Pembangunan

Seiring dengan Era kemajuan pembangunan di segala bidang, banyak menyisakan bencana kerusakan lingkungan yang mencengangkan bumi pertiwi ini. Seperti halnya dengan polusi dan kerusakan lingkungan di perkotaan dan pedesaan saat ini. Banjir, tanah longsor, erosi, pencemaran air, udara, dan berbagai kerusakan lainnya merupakan satu mata rantai yang dapat meruntuhkan keberlangsungan kehidupan manusia seutuhnya. Perubahan iklim lingkungan tersebut sangat terkait dengan menipisnya kesadaran dan kepedulian terhadap dampak negatif aktifitas manusia dan pembangunan yang semakin meningkat.

Akibatnya, meski telah dilakukan pola penanganan dampak dengan program AMDAL itu hanya sebatas pada dimensi prosedural belaka. Contoh nyatanya dan paling tragis adalah kasus lumpur Lapindo di Surabaya yang sampai saat ini belum tuntas. Tidak adanya keseriusan secara utuh bahwa institusi Negara maupun swasta yang menyelenggarakan pembangunan fisik seharusnya sadar dan penuh tanggung jawab terhadap konsekuensi logis akibat dari keberlanjutan aktifitas ekonomi tersebut. Kondisi ini, saya kira akan menjadi permasalahan serius bagi perwujudan keberhasilan penanganan dampak lingkungan kalau terus dibiarkan.

Indikator dari kondisi tersebut berawal dari kurang jelasnya konsep dan sinergisitas antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan swasta sebagai media pelaksana proyek dalam merumuskan kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan. Di lain hal faktor keikutsertaan seluruh stakeholder dalam proses penanganan dampak negatif maupun positif penyelenggaraan pembangunan tumpuan utamanya adalah masyarakat. Karena wujud dari tujuan pembangunan itu sendiri semata-mata demi kepentingan masyarakat luas.

Selama ini, Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sering dikesampingkan. Imbasnya berujung pada penanganan dampak lingkungan dari sebuah pembangunan infrastruktur, supra struktur. Dimana kepercayaan tingkat elit pemerintah hanya melibatkan kaum pemodal (swasta) mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasannya yang kurang efektif dan tidak efisien. Artinya kesatuan hidup masyarakat dan lingkungannya seharusnya menjadi bagian terpenting subjek dari orientasi pembangunan sama sekali tidak mendapat posisi yang jelas.

Alhasil, dualisme tujuan antara pembangunan yang berwawasan manusia serta lingkungan hidupnya dan pembangunan yang berorientasi fisik dan ekonomi pasar. Ini menyebabkan realisasi penerapan AMDAL pada proyek pembangunan bersifat setengah hati dan tidak berpihak pada masyarakat dan lingkungan. Realitas sosial saat ini, banyaknya program AMDAL pemerintah melalui instansi-instansinya di seluruh Indonesia terkesan tidak sinergis dan koordinatif dengan kondisi riil di lapangan. Apalagi saat ini pemerintah menerbitkan 9.000 dokumen mengenai analisis dampak lingkungan yang mungkin masih dipertanyakan tentang dokumen-dokumen itu, apakah muncul dari hasil identifkasi, observasi maupun elaborasi yang kritis. Malahan makin diragukan tahap implementasinya bisa terealisasi dengan baik. Bias permasalahan mengenai arti dampak sosial pembangunan dapat memperparah kesatuan manusia dan lingkungan hidup sekitarnya. Artinya pembangunan keberlanjutan jangan sampai menistakan dampak sosial, kesehatan, dampak positif, dampak negatif yang secara fisik dan naluriah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan alam Nusantara.

Seharusnya pemerintah tidak ahistoris dan parsial dalam menanggapi permasalahan ini. Sebagaimana diketahui, pelaksanaan AMDAL di Indonesia telah dimulai jauh lebih awal daripada undang-undang dan peraturan pemerintah, terutama dalam hal proyek-proyek pembangunan pemerintah maupun swasta yang menerima bantuan dari badan luar negeri yang mengaitkan pemberian bantuan itu perlu diimbanginya dengan AMDAL yang diberi bantuan untuk proyek tersebut.

Berdasarkan asas manfaatnya, sejatinya AMDAL bukanlah dijadikan buku resep (cook-book) yang dapat digunakan begitu saja secara tidak kritis. Cara penggunaan AMDAL secara prinsip sangat berbeda untuk jenis proyek dan lingkungan yang berbeda-beda pula. Usaha penyeragaman itu merupakan sebuah kelemahan yang sangat serius karena banyak AMDAL mengandung data yang tidak relevan dengan proyek yang sedang diteliti sehingga AMDAL itu tidak banyak berguna. Seharusnya AMDAL disesuaikan dengan jenis proyek pembangunan dan lingkungan yang telah ditelaah, karena jelas tidak ada dua proyek pembangunan dan lingkungan yang mempunyai sifat yang sama. Misalnya tidak ada dua bangunan gedung atau dua ruang bangunan rumah yang mempunyai sifat yang sama. Demikian pula tidak ada dua lingkungan yang identik sama. Masalah lingkungan bendungan di Jakarta juga dan pasti akan berbeda dari masalah lingkungan bendungan di Surabaya atau NTB. Bahkan dua bendungan yang di sungai yang sama, misalnya Bengawan Solo atau di kali Code mempunyai masalah lingkungan yang sangat terbatas. Identifikasi dan Evaluasi dampak lingkungan yang hanya bersifat tidak kritis dan cenderung subjektif membuat masalah lebih kompleks, oleh karena itu pelaksanaan AMDAL haruslah dilakukan secara kritis, baik menggunakan ilmu pengetahuan yang bersifat objektif maupun dengan pertimbangan yang bersifat subjektif kritis namun harus dilakukan secara rasional.

Artinya pemerintah harus serius serta tanggap untuk tidak menghalalkan persoalan kerusakan lingkungan makin kompleks. Solusi riilnya, tentu yang utama dan terpenting adalah kemauan baik pemerintah untuk betul-betul memahami akar persoalan ini dengan sepenuhnya melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Seiring dengan ruang partisipasi yang terbuka lebar maka pemerintah dapat mengeluarkan aturan ataupun regulasi yang tegas untuk menjelaskan pentingnya AMDAL bagi masyarakat dan lingkungannya. Sosialisasi dan publikasi mengenai peran dan fungsi aturan itu dapat terbangun dengan sendirinya. Dalam arti koordinasi, pengawasan serta proses pengkawalan akan terus berlangsung sampai pada tataran implementasinya. Misalnya melibatkan masyarakat, akademisi, swasta, pemerhati lingkungan, LSM, pers, ormas, organ kepemudaan, organ mahasiswa dan BEM, melalui seminar dan lokakarya mengenai kerusakan lingkungan ataupun keutamaan AMDAL. Dengan metode seperti ini, sinergisitas dan koordinasi antara pemerintah dengan seluruh stakeholder lebih-lebih swasta (pengusaha) sebagai kelompok berkepentingan dapat membawa angin segar terciptanya pemahaman, kepedulian, kesadaran bahwa pembangunan haruslah berwawasan lingkungan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pada akhirnya, gerakan bersama bangsa ini dapat mewujudkan proyek pembangunan di seluruh nusantara ini yang ramah dan tidak merugikan masyarakat, hingga secepatnya tercapai kesejahteraan rakyat, flora fauna, dan nilai estetika alam.

Semoga usaha penanggulangan serta penanganan kerusakan lingkungan adalah babak baru peningkatan kualitas hidup alam bagi pembangunan kesejahteraan hidup rakyat Indonesia.

Sumber :

Bob Rusdin Abdullah Rumba

http://www.sumbawanews.com/berita/opini/amdal-antara-lingkungan-versus-pembangunan.html

6 November 2008

AMDAL: Hilangnya Hak Lingkungan Hidup

Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Dalam sebuah lokakarya regional koordinasi tata lingkungan wilayah Kalimantan, Ir Hermien Roosita MM, Asisten Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa hanya 119 kabupaten/kota yang memiliki komisi penilai AMDAL dari 474 kabupaten/kota di Indonesia. Dari angka tersebut, hanya 50% yang berfungsi menilai AMDAL. Sementara 75% dokumen AMDAL yang dihasilkan berkualitas buruk sampai sangat buruk.

Lebih lanjut disampaikannya bahwa selama ini AMDAL memerlukan waktu proses yang lama, itdak ada penegakan hukum terhadap pelanggar AMDAL, kontribusi pengelolaan lingkungan yang masih rendah, menjadi beban biaya, dan dipandang sebagai komodias ekonomi oleh (oknum) aparatur pemerintah, pemrakarsa atau konsultan. Lebih rusaknya, ketika AMDAL justru hanya sebagai alat retribusi, bukan sebagai bagian dari sebuah studi kelayakan, sehingga sering kali ditemui banyak AMDAL yang justru melanggar tata ruang.

Ruh AMDAL ketika pertama kali dikeluarkan kebijakan mengenainya, adalah merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha dan/atau kegiatan. Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah. Namun dikarenakan minimnya pengetahuan dari pemerintah dan rakyat dalam memahami AMDAL, menjadikan pemrakarsa dan konsultan menggunakan AMDAL sebagai sebuah dokumen asal jadi, dan kecenderungan mengutip dokumen AMDAL lainnya sangat tinggi. Sehingga AMDAL tidak dapat menjadi sebuah acuan kelayakan sebuah kegiatan berjalan.

Dalam sebuah rencana proyek jalan LADIA-GALASKA di Nanggroe Aceh Darussalam, sangat terlihat jelas bahwa proyek jalan dilaksanakan jauh sebelum dokumen AMDAL disetujui oleh Komisi Penilai AMDAL. Hal serupa ditemui dalam proyek jalan yang melalui Pulau Balang di Teluk Balikpapan, dimana saat ini proyek telah dilaksanakan, sementara AMDAL belum selesai direvisi.

Pasal 15 (1) UU No. 23/1997 menyatakan bahwa setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Hal ini kemudian ditegaskan dalam pasal 3 PP No. 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menyebutkan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi:
1. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam.
2. Eksploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tidak terbaharui.
3. Proses dan kajian yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumberdaya alam dalam pemanfaatannya.
4. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sumberdaya.
5. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumberdaya alam dan/atau perlindungan cagar budaya.
6. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik.
7. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati.
8. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
9. Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan dapat mempengaruhi pertahanan negara.

Dalam proses penyusunan dokumen AMDAL, sangat sering ditemui konsultan (tim penyusun) AMDAL meninggalkan berbagai prinsip dalam AMDAL. Terutama posisi rakyat dalam proses penyusunan dokumen AMDAL. Proses keterbukaan informasi dijamin oleh kebijakan, di mana pasal 33 PP No. 27/1999 menegaskan kewajiban pemrakarsa untuk mengumunkan kepada publik dan saran, pendapat, masukan publik wajib untuk dikaji dan dipertimbangkan dalam AMDAL. Dan pasal 34 menegaskan bagi kelompok rakyat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup.

Maksud dan tujuan dilaksanakannya ketertibatan masyarakat dalam keterbukaan informasi dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ini adalah untuk :
1) Melindungi kepentingan masyarakat;
2) Memberdayakan masyarakat dalam pengambilan keputusan atas rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting terhadap Lingkungan;
3) Memastikan adanya transparansi dalam keseluruhan proses AMDAl dari rencana usaha dan/atau kegiatan; dan
4) Menciptakan suasana kemitraan yang setara antara semua pihak yang berkepentingan, yaitu dengan menghormati hak-hak semua pihak untuk mendapatkan informasi dan mewajibkan semua pihak untuk menyampaikan informasi yang harus diketahui pihak lain yang terpengaruh.

Di mana prinsip dasar pelaksanaannya menganuti: 1) Kesetaraan posisi di antara pihak-pihak yang terlibat; 2) Transparansi dalam pengambilan keputusan; 3) Penyelesaian masalah yang bersifat adil dan bijaksana; dan 4) Koordinasi, komunikasi, dan kerjasama dikalangan pihak-pihak yang terkait.

Pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan Gubernur.

Dokumen AMDAL (kelayakan lingkungan hidup) yang merupakan bagian dari kelayakan teknis finansial-ekonomi (pasal 2 PP No. 27/1999) selanjutnya merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang (pasal 7 PP No. 27/1999). Dokumen AMDAL merupakan dokumen publik yang menjadi acuan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat lintas sektoral, lintas disiplin, dan dimungkinkan lintas teritorial administratif.

Namun, dari sisi proses, bila menilik Pasal 20 PP No. 27/1999, maka terbuka kemungkinan terjadinya kolusi dalam persetujuan AMDAL. Dalam ayat (1) pasal tersebut dinyatakan bahwa instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Dan dalam ayat (2) disebutkan apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, maka rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dianggap layak lingkungan. Kolusi kemudian bisa terjadi disaat tidak adanya keputusan tentang persetujuan AMDAL dalam jangka waktu 75 hari, maka secara otomatis suatu kegiatan dan/atau usaha dianggap layak secara lingkungan.

Sejak dibubarkannya Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, maka kemudian Kementerian Lingkungan Hidup semakin mengecil perannya dalam upaya pengendalian dampak lingkungan, termasuk dalam pengawasan AMDAL di berbagai tingkatan. Terlebih lagi, pasca dikeluarkannya PP No. 25 tahun 2000, menjadikan hilangnya mekanisme koordinasi antar wilayah, yang pada akhirnya menjadikan lingkungan hidup sebagai bagian yang menjadi tidak begitu penting.

Empat kelompok parameter yang terdapat di studi AMDAL , meliputi Fisik ? kimia (Iklim, kualitas udara dan kebisingan; Demografi; Fisiografi; Hidro-Oceanografi; Ruang; Lahan dan Tanah; dan Hidrologi), Biologi (Flora; Fauna), Sosial (Budaya; Ekonomi; Pertahanan/keamanan), dan Kesehatan masyarakat, ternyata juga masih sangat menekankan pada kepentingan formal saja. Lalu kemudian, permasalahan sosial-budaya dan posisi rakyat menjadi bagian yang dilupakan.

Satu hal dari proses di Komisi Penilai AMDAL, ketika ternyata terjadi pembohongan dalam dokumen AMDAL (dalam hal ini saat penilaian dokumen AMDAL Pembangunan Bandara Udara Sungai Siring ), hanya dianggap sebagai kesalahan ketik. Permakluman kemudian terjadi dikarenakan kuatnya kepentingan politis dibalik sebuah rencana kegiatan. Hal ini bukan hanya terjadi sekali. Dalam beberapa kali diskusi dengan para pihak yang dilibatkan dalam Komisi Penilai AMDAL, sangat jelas terlihat kerancuan dalam proses penilaian AMDAL. Tidak adanya kriteria dan indikator penilaian, telah menjadikan proses penilaian AMDAL menjadi sangat subyektif. Dan kemudian, penilaian yang sepotong-sepotong pun pada akhirnya menjadikan aspek dampak lingkungan hidup (sebagai sebuah komponen yang komprehensif) menjadi bagian yang sengaja untuk dilupakan.

Posisi kelayakan kegiatan dari AMDAL, sebenarnya sangat tergantung pada kelompok Akademisi atau para ahli yang dilibatkan dalam Komisi Penilai AMDAL. Ketika kemudian independensi (kebebasan ikatan) dari akademisi dalam menilai dokumen diikat saat kelompok ini pun menjadi konsultan penyusun AMDAL, telah menjadikan kelompok akademisi atau para ahli tidak lagi profesional dalam mengambil keputusan. Bias perkawanan dan keberlanjutan proyek (sustainable project) sangat menjadikan proses penilaian AMDAL menjadi hanya panggung boneka semata.

Hal yang kemudian menjadi sangat lemah adalah proses pengawasan pelaksanaan (implementasi) dari dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), dimana tidak ada perangkat hukum yang menyatakan sanksi terhadap pelanggar dokumen ini. Ketika kemudian terjadi pencemaran lingkungan ataupun terjadi konflik sosial, barulah digunakan perangkat hukum lainnya (semisal UU No. 23/1997, UU No. 41/1999 jo UU No. 19/2004 ataupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/Perdata).

AMDAL yang pada awalnya ingin menaikkan posisi tawar lingkungan hidup dalam berkehidupan, kemudian malah berkontribusi terhadap hilangnya hak lingkungan hidup. Setiap kali sebuah kegiatan dan/atau usaha sangat terlihat jelas berdampak terhadap lingkungan hidup maupun komunitas rakyat, maka AMDAL berada di barisan terdepan untuk mengeliminir gejolak yang terjadi. Dengan melihat kondisi ini, maka bukan tidak mungkin AMDAL akan berkontribusi terhadap terjadinya ekosida/ecocide (tindakan pengrusakan seluruh atau sebagian dari sebuah ekosistem). Pemusnahan ekosistem semakin cepat terjadi dikarenakan tidak adanya perangkat penyaring (filter) dari kegiatan pengrusakan lingkungan hidup.

Dalam mendorong perbaikan kualitas lingkungan hidup (dan kualita manusia didalamnya), maka aparat pemerintah sudah selayaknya memahami ulang tentang Hak Menguasai Negara. Juga menjadi penting adanya undang-undang payung dalam rangka menjamin pemenuhan kewajiban negara terhadap hak konstitusional rakyat untuk: (1) melaksanakan reforma agraria (land reform); (2) pengelolaan agraria atau kekayaan alam dengan mengacu pada asas kehati-hatian (precautionary principle), serta; (3) perlindungan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat.

Di sisi penataan kelembagaan, menjadi penting dilakukannya reformasi kelembagaan, meliputi: (1) kelembagaan yang terkait kebijakan makro pengelolaan lingkungan hidup; (2) kelembagaan dengan fungsi perlindungan dan konservasi lingkungan, dan; (3) intergrasi kelembagaan yang memiliki fungsi menjamin akses terhadap permanfaatan lingkungan secara adil dan berkelanjutan. Selain menjadi penting menganut prinsi desentralisasi kewenangan berdasarkan fungsi, di mana diharapkan dapat mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada kelompok penerima dampak. Bentuk yang ditawarkan adalah kepemerintahan rakyat (community governance), dimana kelembagaan bersifat ad-hoc, informal, mewakili kepentingan, pendekatan berdasarkan isu dan kepentinga, serta dikelola dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kelembagaan formal pemerintah menjadi bagian dari kepemerintahan rakyat ini.

Untuk kondisi sistem pemerintahan yang ada saat ini, dalam hal ini terhadap AMDAL, penting untuk meletakkan ruh (filosofi) lingkungan hidup dalam setiap pelatihan mengenai AMDAL, sehingga tidak menjadikan penyusun, penilai dan pemantau AMDAL kehilangan ruh dari lingkungan hidup itu sendiri.

Menjadi penting juga bagi pemerintah di tingkat lokal hingga nasional untuk membangun clearing house lingkungan hidup, termasuk dokumen AMDAL didalamnya yang aksesable (mudah diakses) oleh rakyat. Juga untuk segera hadir mekanisme yang sederhana dan terbuka untuk mengelola respon publik terhadap proses AMDAL yang akan dan sedang berlangsung. Selain pula pemerintah mulai membangun perangkat sanksi terhadap pengelola kegiatan yang tidak melaksanakan RKL/RPL yang telah dibuatnya.

Dari sisi akademisi ataupun para ahli yang terlibat dalam penyusun maupun penilai AMDAL, sangat penting untuk kembali membuka ulang pemikiran agar tidak terjebak pada kepentingan kehidupan saat ini semata. Silaunya keping mata uang terkadang membutakan hati, namun bisa jadi suatu saat keping mata uang itu akan membutakan keturunan anda.

Sementara dari komunitas lokal, sudah saatnya berani bersuara tentang ketidakadilan dan penipuan yang berlangsung secara berkelanjutan hingga saat ini. Karena suatu saat, penerima dampak pertama dari kegiatan dan/atau usaha yang seolah-olah telah lulus AMDAL adalah komunitas lokal. Sangat penting juga membangun kapasitas melalui pemahaman tentang AMDAL KIJANG (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Kaki Telanjang), yang sebenarnya bisa menjadi sebuah perangkat pemantauan lingkungan hidup oleh rakyat dengan sederhana dan berdasarkan parameter yang tersedia di lingkungan itu sendiri.


Sumber :

http://timpakul.web.id/amdal.html

25 April 2006

AMDAL Ini Siapa yang Punya ?

Pengantar

Masih segar dalam ingatan kita saat digulirkannya konsep otonomi daerah kira-kira tiga tahun yang lalu, AMDAL pun serta merta ikut terbawa oleh perubahan-perubahan yang bernuansa Otoda tersebut. Sehingga pada tanggal 20 Desember 2000, Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan turut membuka wacana mengenai pelaksanaan AMDAL pada era Otoda melalui penyelenggaraan seminar tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999.

Dalam seminar tersebut, salah satu makalah yang disampaikan oleh pembicara yaitu Dr. Ngadiono, MS. patut kita simak kembali sambil mencermati pelaksanaan AMDAL di masa otonomi daerah ini yang telah berjalan kurang lebih hampir dua tahun.

Pada kesempatan ini, redaksi mengajak pembaca info-pustanling untuk membuka kembali hal-hal yang nampaknya penting untuk dipahami mengenai konsep yang utuh dalam pelaksanaan AMDAL di masa otonomi daerah ini.

Perjalanan AMDAL Menuju ke Daerah

Sejak diundangkannya UU No. 4 Th. 1982, pelaku pembangunan dan masyarakat tidak dapat lagi menghindar dari pertimbangan aspek lingkungan hidup dalam melaksanakan kegiatan pembangunan. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU tersebut dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur bahwa setiap usaha/kegiatan pembangunan yang diperkirakan mempengaruhi fungsi lingkungan hidup atau diperkirakan mempunyai dampak besar dan penting perlu dilakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ketentuan tersebut dituangkan dalam PP No. 29 Th. 1986 yang kemudian diperbaharui dan diganti melalui PP No. 51 Th. 1993. Pada tahun 1990 Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. 23 tahun 1990 tentang Pembentukan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL).

Dalam perjalanannya, UU No. 4 Th. 1982 dinilai kurang memadai dalam menampung aspirasi pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Maka pada tahun 1997 dilakukan penyempurnaan melalui penetapan UU No. 23 Th. 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dengan kebijakan baru dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UU No. 23/97, maka PP No. 51 Th. 1993 (AMDAL) sebagai penjabaran pelaksanaan UU No. 4 Th. 1982 disempurnakan dan diganti dengan PP No. 27 Th. 1999 yang telah mengakomodir wacana otonomi daerah, sehingga dimungkinkan pembahasan dan penilaian AMDAL oleh Pemerintah Daerah.

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Bahwa dengan diberlakukannya UU No. 4 Th. 1982 yang disempurnakan dan diganti dengan UU No. 23 Th. 1997, masalah lingkungan hidup telah menjadi faktor penentu dalam proses pengambilan keputusan pemanfaatan dan pengolahan SDA. Pembangunan tidak lagi menempatkan SDA sebagai modal, tetapi sebagai satu kesatuan ekosistem yang di dalamnya berisi manusia, lingkungan alam dan/atau lingkungan buatan yang membentuk kesatuan fungsional, saling terkait dan saling tergantung dalam keteraturan yang bersifat spesifik, berbeda dari satu tipe ekosistem ke tipe ekosistem yang lain. Oleh sebab itu, pengelolaan lingkungan hidup bersifat spesifik, terpadu, holistik dan berdimensi ruang.

Berdasarkan UU No. 23 Th. 1997 lingkungan hidup diartikan sebagai kesatuan ruang dengan kesemua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Sedangkan pengelolaan lingkungan hidup didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Pada Bab II pasal 4 UU No. 23 Th. 1997 dikemukakan bahwa sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah :

a. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup.

b. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang mempunyai sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup.

c. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa mendatang.

d. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup.

e. Terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana.

f. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

Dari sasaran-sasaran pengelolaan lingkungan hidup di atas, terlihat bahwa kelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan sasaran utama yang dapat diukur. Menurut bab V UU No. 23 Th. 1997 tentang pelestarian fungsi lingkungan hidup, dinyatakan bahwa kelestarian fungsi lingkungan hidup dapat diukur dengan dua parameter utama, yaitu Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup. Dua parameter ini menjadi ukuran/indikator apakah rencana usaha dan/atau kegiatan dapat menimbulkan dampak besar dan penting bagi lingkungan hidup. PP 27 Th. 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pasal 3 menyebutkan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi :

a. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam.

b. Eksploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tidak terbaharui.

c. Proses dan kajian yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumberdaya alam dalam pemanfaatannya.

d. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sumberdaya.

e. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumberdaya alam dan/atau perlindungan cagar budaya.

 f. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik.

g. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati.

h. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.

i. Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan dapat mempengaruhi pertahanan negara.

Menurut keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 19 Th. 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup pada lampiran II dikemukakan bahwa pada studi AMDAL, terdapat empat kelompok parameter komponen lingkungan hidup, yaitu :

1. Fisik – kimia (Iklim, kualitas udara dan kebisingan; Demografi; Fisiografi; Hidro-Oceanografi; Ruang; Lahan dan Tanah; dan Hidrologi),

2. Biologi (Flora; Fauna)

3. Sosial (Budaya; Ekonomi; Pertahanan/keamanan)

4. Kesehatan masyarakat.

Dengan evaluasi parameter komponen lingkungan pada setiap kegiatan (prakonstruksi, konstruksi, pasca konstruksi) terhadap Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup akan dapat ditentukan dampak penting (positif dan negatif) parameter lingkungan hidup.

Hasil kajian dampak penting parameter lingkungan hidup dari setiap kegiatan selanjutnya diorganisasikan ke dalam tiga buku laporan yang terpisah, yaitu 1) Analisis Dampak Lingkungan/Andal, 2) Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup/RKL, 3) Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup/ RPL. Ketiga dokumen ini (dokumen AMDAL) merupakan hasil kajian kelayakan lingkungan hidup, dan merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari hasil kajian kelayakan teknis dan finansial-ekonomi. Selama ini kedua dokumen kelayakan ini (kelayakan teknis dan kelayakan lingkungan hidup) masih dalam bentuk yang terpisah, baik dokumennya maupun instansi yang menanganinya.

Dokumen AMDAL (kelayakan lingkungan hidup) yang merupakan bagian dari kelayakan teknis finansial-ekonomi (pasal 2 PP 27/99) selanjutnya merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang (pasal 7 PP 27/99). Dokumen AMDAL merupakan dokumen publik yang menjadi acuan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat lintas sektoral, lintas disiplin, dan dimungkinkan lintas teritorial administratif.

Otonomi Daerah

Otonomi daerah dibangun atas dasar pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam pasal 4 ayat 1 UU No. 22 Th 1999 disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Menurut pasal 4 ayat 2 hubungan daerah-daerah sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 masing-masing berdiri sendiri-sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain. Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain (pasal 7 ayat 1).

Dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup, PP No. 25 Th. 2000 telah secara tegas memisahkan kewenangan-kewenangan yang menjadi milik pemerintah pusat dan kewenangan-kewenangan yang menjadi milik pemerintah daerah. Sesuai dengan pasal 2 PP No. 25 Th. 2000 Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk :

a. Penetapan pedoman pengendalian sumberdaya alam dan kelestarian fungsi lingkungan. 

b. Pengaturan pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya laut di luar 12 mil. 

c. Penilaian AMDAL bagi kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat dan atau menyangkut pertahanan dan keamanan yang lokasinya meliputi lebih dari 1 wilayah propinsi, kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain, di wilayah laut bawah 12 mil dan berlokasi di lintas batas negara.

d. Penetapan baku mutu lingkungan hidup dan penetapan pedoman tentang pencemaran lingkungan hidup. 

e. Penetapan pedoman tentang pencemaran lingkungan hidup.

Sementara itu menurut pasal 3 PP No. 25 Th. 2000 kewenangan daerah propinsi mencakup : 

a. Pengendalian lingkungan hidup lintas kabupaten/kota.

b. Pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumberdaya laut 4 mil sampai 12 mil.

c. Pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumberdaya air lintas kabupaten/kota. 

d. Penilaian AMDAL bagi kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat luas yang lokasinya meliputi lebih dari satu kabupaten/kota. 

e. Pengawasan pelaksanaan konservasi lintas kabupaten/kota. 

f. Penetpan baku mutu lingkungan hidup berdasarkan baku mutu lingkungan hidup nasional.

Perkembangan saat ini

Dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 27 Tahun 1999, maka SK Menhutbun No. 602/Kpts-II/1998 jo. NO. 622/Kpts-II/1999 tentang AMDAL, UKL dan UPL Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan tidak relevan lagi. Sesuai ketentuan tersebut di atas AMDAL, UKL dan UPL saat ini dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Kabupaten). Namun demikian ada bagian-bagian lain dari ketentuan-ketentuan yang ada yang menjelaskan tentang kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu :

Pasal 7 ayat (2) UU No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa bidang konservasi merupakan kewenangan Pemerintah Pusat.

Pasal 2 ayat (3) butir 4 (j) PP. No. 25 Th. 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, menyebutkan bahwa penyelenggaraan ijin usaha pengusahaan taman buru, usaha perburuan, penangkaran flora dan fauna yang dilindungi, dan lembaga konservasi, serta penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam taman buru, termasuk daerah aliran sungai di dalamnya, merupakan kewenangan Pemerintah Pusat.

Terhadap pencermatan ketentuan tersebut, maka saat ini sedang “digodog” konsep ketentuan yang mengatur tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bidang konservasi dan juga pengawasan pelaksanaan pengelolaan lingkungan secara umum.

Penutup

Terlepas dari AMDAL ini siapa yang punya, yang paling penting untuk dipahami dalam pembangunan berkelanjutan adalah bahwa kelayakan lingkungan hidup dan kelayakan teknis finansial secara normatif harus merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu di dalam kelayakan teknis finansial ekonomi telah mengakomodir dan mengintegrasikan norma-norma dan kaidah-haidah lingkungan hidup. Dan aspek finansial ekonomi telah memasukkan biaya-biaya yang timbul akibat saran yang dituangkan dalam laporan Andal, RKL dan RPL. Oleh sebab itu setiap kelayakan usaha dan/atau kegiatan dalam proses perijinan harus melakukan studi kelayakan yang mencakup kelayakan teknis, finansial-ekonomi, dan kelayakan lingkungan hidup yang dibahas dan dinilai oleh tim terpadu. Hal ini penting karena kelayakan teknis dapat berubah akibat rekomendasi kelayakan lingkungan hidup, dan selanjutnya perubahan kelayakan teknis akan menyebabkan perubahan kelayakan ekonomi-finansial.


Sumber :

http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_KEHUTANAN/INFO_V02/III_V02.htm

Pemrakarsa Usaha Tanpa Amdal Diancam Pencabutan Izin

Banyak kegiatan usaha atau proyek pemerintah seperti infrastruktur, fasilitas gedung perkantoran, dan rumah sakit dibangun tanpa didahului Amdal. Hal ini direspon KNLH dengan penyampaian aturan berisi sanksi kepada DPR berupa pencabutan izin operasional bagi pemrakarsa usaha dan pidana bagi pejabat yang menerbitkan usaha.

Asisten Deputi Urusan Pengkajian dampak Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Ary Sudijanto, menyatakan pengguna jasa atau calon pemrakarsa suatu usaha akan dilindungi dengan sertifikasi keahlian penyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Artinya, Amdal akan dinyatakan tidak lulus mulai November 2009 jika penyusun tersebut tidak mempunyai sertifikasi lulus uji kompetensi Amdal. 

Solusi dampak lingkungan kurang diketahui atas usaha yang dibangun tanpa menggunakan seorang yang memiliki sertifikasi keahlian penyusun Amdal. Dengan begitu kesalahan penanganan lingkungan bukan pada pemrakarsa usaha, tapi penyusun amdal.

Ary meneruskan Amdal banyak tidak dilakukan pada kegiatan usaha atau proyek pemerintah seperti infrastruktur, fasilitas gedung perkantoran, dan rumah sakit. Kejadian ini direspon Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) dengan penyampaian aturan yang berisi sanksi kepada DPR berupa pencabutan izin operasional bagi pemrakarsa usaha dan pidana bagi pejabat yang menerbitkan usaha tanpa Amdal.

Apabila sanksi tidak ingin dialami pemrakarsa usaha tanpa Amdal, maka dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan (DPPL) harus dipunyai pemrakarsa usaha. Laporan ini disampaikan pemerintah dua tahun sekali. Sebanyak 6.811 institusi dari swasta dan pemerintah telah mengajukan permohonan persetujuan DPPL ke KNLH.

Sementara itu 20 dari 43 peserta uji kompetensi amdal angkatan pertama, ujar Ary, dinyatakan lulus. Angkatan Kedua ini akan diikuti 52 peserta.

Delapan zona uji kompetensi Amdal, ujar Asisten Deputi Urusan Standarisasi, Teknologi, dan Produksi Bersih Kementerian Negara Lingkungan Hidup Sri Tantri Arundhati, terdapat di Indonesia. Sebanyak delapan zona ini berada di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Pekanbaru, Samarinda, Manado, dan Makassar.

Kedelapan zona uji kompetensi Amdal diharapkan dapat melakukan uji kompetensi secara serentak. Sertifikasi ini dianggap sebagai kebutuhan penting sekarang. 

Sumber :

Mochamad Ade Maulidin ( ademaulidin@wartaekonomi.com )

http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2959:pemrakarsa-usaha-tanpa-amdal-diancam-pencabutan-izin-&catid=53:aumum

1 September 2009

Reformasi AMDAL dan Desentralisasi

Peluang Inovasi di Indonesia

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sedang berupaya agar Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dapat berjalan dengan efektif di daerah-daerah yang baru diberdayakan. Namun, memperbaiki pendekatan pengelolaan lingkungan di Indonesia tidak akan mudah. Ada dua alasan untuk kinerja yang buruk. Pertama, meskipun terdapat investasi yang substansial pada kebijakan lingkungan dan pengembangan kepegawaian, pelaksanaan peraturan dan prosedur di lapangan masih buruk. Kedua, banyak provinsi dan kabupaten membuat interpretasi baru mengenai peraturan-peraturan yang ada, atau menciptakan prosedur peraturan yang seluruhnya baru. Meskipun sebagian inovasi ini memperkuat pengendalian lingkungan, namun kebanyakan malah mengendurkan atau bahkan mengabaikan standar-standar nasional sama sekali.

Karena landasan nasional ini sering diabaikan maka KLH meminta Bank Dunia agar bekerja sama dalam merevisi kebijakan yang ada dan kerangka kelembagaan AMDAL. Kajian AMDAL Bank Dunia mengupas masalah inti untuk menyesuaikan sistem peraturan pengelolaan lingkungan dengan perubahan kondisi desentralisasi. Kajian ini memerlukan gabungan Studi Analitis, percontohan daerah, dan dialog kebijakan di tingkat nasional maupun daerah.

Dua percontohan tingkat provinsi (di Jawa Barat dan Kalimantan Timur) meneliti bagaimana sistem AMDAL terpusat saat ini dapat ‘divariasikan’, sehingga prioritas di berbagai daerah dapat ditentukan berdasarkan kapasitas dan kebutuhan yang ada. Empat studi analitis pendukung dirancang untuk memperkuat dan menentukan hasil-hasil percontohan di tingkat provinsi.
Output dari Studi akan menentukan pengembangan rancangan dokumen kebijakan yang menjadi dasar untuk revisi Peraturan AMDAL No. 27/1999.

Studi Analitis AMDAL

Laporan Pemeriksaan 2004 membantu menetapkan sejumlah masalah utama untuk diteliti; masalah-masalah ini kemudian disaring lagi melalui konsultasi dengan KLH dan pemegang saham daerah untuk memaksimalkan kesesuaian dengan program Revitalisasi AMDAL.Partisipasi Masyarakat dan Akses ke Informasi AMDAL

Studi ini meninjau tingkat, kualitas dan efektivitas keterlibatan masyarakat dalam proses AMDAL sejak dikeluarkannya Keputusan Kepala BAPEDAL No. 08/2000. Hal ini dimaksudkan sebagai masukan untuk merevisi Keputusan 8/2000 yang dilaksanakan KLH pada tahun 2006.
Download (pdf 2.5MB)

Apa yang Dilakukan untuk AMDAL – Studi tentang Praktek Baik yang Baru Diperkenalkan kepada Provinsi-Provinsi Tertentu di Indonesia.
Studi ini meninjau dengan cermat serangkaian AMDAL yang baru diselesaikan, mengidentifikasi berbagai contoh praktek yang baik dan mengkaji faktor-faktor kritis yang menyumbang kepada peningkatan kinerja. Sebuah indikasi kesesuaian praktek yang baik dengan pengalaman internasional diberikan melalui perbandingan dengan negara-negara berpenghasilan menengah.
 

Instrumen Kebijakan Alternatif untuk Pengelolaan Lingkungan di Indonesia

Studi ini meninjau empat instrumen kebijakan lingkungan prioritas yang dianggap oleh KLH sebagai pelengkap bagi sistem AMDAL, yaitu Pengkajian Lingkungan Strategis, Pengkajian Risiko, Audit Lingkungan dan Pengkajian Lingkungan secara Cepat. Laporan ini juga mengkaji pengalaman Indonesia di masa lalu dalam menerapkan instrumen-instrumen ini, dan mengidentifikasi prasyarat untuk revisi yang akan dibuat terhadap Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan tahun 1997 guna memperkuat sistem pengelolaan lingkungan Indonesia secara keseluruhan.

   

Percontohan AMDAL Daerah

Kegiatan Percontohan untuk Mendesentralisasi AMDAL

Proposal Awal. Disusun secara spesifik untuk kegiatan percontohan yang sedang dipertimbangkan, menawarkan rancangan dan pendekatan yang dianggap paling strategis saat ini. Proposal dalam laporan ini mengusulkan bentuk pelaksanaan yang menghasilkan gagasan-gagasan yang lebih konkrit untuk mendesentralisasi AMDAL dengan mengembangkan ‘Model-Model AMDAL Spesifik-Daerah’.

Program Reformasi AMDAL – Menghubungkan Kemiskinan, Lingkungan dan Desentralisasi

Laporan Akhir Proyek Daerah. Untuk mendukung upaya Revitalisasi AMDAL Kementerian Lingkungan Hidup, sebuah Proyek Percontohan Daerah telah diadakan sebagai bagian dari Program Reformasi AMDAL – Menghubungkan Kemiskinan, Lingkungan dan Desentralisasi” oleh Bank Dunia.
  

Konsultasi AMDAL

KLH – Lokakarya AMDAL Daerah

Dari bulan April sampai Oktober 2004, KLH dengan sebagian dukungan dari Bank Dunia menyelenggarakan serangkaian lokakarya tingkat nasional dan daerah untuk mempresentasikan, membahas, dan menjelaskan kepada para pejabat lingkungan hidup dan pejabat pemerintah lain gagasan-gagasan utama dari program Revitalisasi AMDAL yang disponsori oleh KLH yang dilaksanakan dari tahun 2004 sampai 2006.

AMDAL dan Pelaksanaannya

Pelaksanaan AMDAL masih menjadi salah satu tema reformasi AMDAL yang diusulkan oleh KLH. Pada tanggal 9 Juni 2004, KLH mengadakan sebuah lokakarya nasional tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan pelaksanaannya, dan mengundang Bank Dunia untuk memberikan ulasan dari perspektif pengalaman internasional.

Apa yang Dilakukan untuk AMDAL?

Pada tanggal 30 Mei 2005, Tim AMDAL Bank Dunia mengadakan lokakarya satu hari di Jakarta untuk membagikan dan membahas temuan-temuan penting dan implikasinya terhadap Program Revitalisasi AMDAL Pemerintah dalam rancangan laporan akhir tentang praktek AMDAL yang baik di Indonesia dan pelajaran yang dipetik dari pengalaman internasional.

Keterlibatan Masyarakat dalam AMDAL

Pada tanggal 20 Juni 2005, Qipra Galang Kualita memfasilitasi acara konsultasi tingat nasional selama satu hari untuk membagikan dan membahas temuan-temuan penting dari studi tentang partisipasi masyarakat dan akses ke informasi AMDAL sebelum menyelesaikan dan menyampaikan laporan kepada KLH. Para peserta penting yang hadir antara lain meliputi para wakil dari sektor swasta, instansi pemerintah daerah dan pusat, LSM, dan komunitas donor internasional.

Pembahasan mengenai Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi AMDAL

Pada tanggal 14 dan 22 Februari 2006, di Surabaya dan Jakarta, Tim AMDAL KLH mengadakan pertemuan dengan para stakeholder AMDAL dari daerah-daerah lain (yaitu Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur) untuk membahas gagasan-gagasan yang timbul dari percontohan daerah mengenai caranya meningkatkan proses AMDAL saat ini. Dalam setiap diskusi, diundang sekitar 25 sampai 30 peserta.

Instrumen Kebijakan Alternatif untuk Pengelolaan Lingkungan di Indonesia

Pada tanggal 16 Februari 2006 di Jakarta, KLH dan Bank Dunia mensponsori lokakarya untuk mempresentasikan dan membahas dengan para wakil akademisi dan praktisi lingkungan hidup temuan-temuan studi yang diadakan oleh Hatfield Indonesia. Tujuan utama studi ini adalah untuk menilai potensi untuk memperkenalkan lebih banyak jenis instrumen kebijakan lingkungan sebagai dasar untuk memperkuat AMDAL. Salah satu kelemahan yang diakui dari AMDAL adalah bahwa AMDAL menjadi satu-satunya alat pengelolaan lingkungan dengan penerapan yang luas sehingga cenderung dipergunakan secara berlebihan.

Sumber :

http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAINBAHASAEXTN/0,,contentMDK:21562642~pagePK:141137~piPK:141127~theSitePK:447244,00.html

AMDAL dan Pengrusakan Hutan

AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) merupakan sebuah dokumen yang menjadi acuan bagi pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada sebuah unit usaha ataupun proyek. Banyak pihak berpandangan bahwa dengan adanya AMDAL, maka sebuah unit usaha akan melakukan pengelolaan lingkungan dengan baik dan benar.

Banyak pengalaman menyatakan bahwa Dokumen AMDAL sendiri terkadang tak pernah terbaca ataupun dilihat oleh pihak pelaksana kegiatan/usaha. Apalagi di kalangan pemantau AMDAL, ternyata juga sangat kurang mampu melakukan pemantauan seluruh unit usaha/kegiatan. Dokumen AMDAL pun kemudian menjadi sekedar “kucing garong”, kalau pun tak ingin disebut sebagai “macan kertas”.

Belum lagi, dalam proses penyusunan AMDAL, akan menghabiskan begitu banyak kertas. Satu set dokumen AMDAL saja (sejak kerangka acuan hingga dokumen final), menghabiskan tidak kurang dari 3 rim kertas. Belum lagi bila terjadi kesalahan dalam proses pembuatannya, bisa mencapai 5 rim kertas. Dalam setiap kali sidang komisi AMDAL, selalu dihadiri tidak kurang 25 perwakilan lembaga. Artinya akan dihabiskan 75 rim kertas untuk sebuah dokumen AMDAL atau sekurangnya satu batang pohon.

Dapat dihitung kemudian, telah berapa banyak dokumen AMDAL yang harus diproduksi. Begitu banyaknya perijinan dan kegiatan proyek yang memerlukan dokumen AMDAL, menjadikan semakin banyak diperlukan kertas, yang artinya akan menghabiskan pepohonan. Apalagi selama ini, produksi kertas (dan bubur kertas) dihasilkan dari penghilangan paksa hutan alam. Belum termasuk hitungan bencana lingkungan yang dihasilkan oleh pabrik bubur kertas dan kertas.

AMDAL, harusnya menggunakan cara baru dalam proses penilaiannya. Penggunaan e-dokumen dalam penyusunan AMDAL harusnya bisa dilakukan. Sehingga diharapkan semakin berkurang penggunaan kertas dalam penyusunan dokumen AMDAL. Kementerian Lingkungan Hidup pun sudah harus mulai mengkampanyekan e-office dan mulai melakukan paperless dalam proses perijinan dan dokumen lingkungan. Agar tak terlalu banyak kertas yang dihabiskan, hingga tak banyak pohon yang harus ditebang.

Sumber :

http://timpakul.web.id/amdal-dan-pengrusakan-hutan.html

13 Maret 2008

Kelayakan AMDAL Jembatan Suramadu

Kelayakan Jembatan Suramadu

Analisis kelayakan ekonomi dilakukan dengan asumsi bahwa biaya konstruksi jembatan adalah 2.3 triliun Indikator yang digunakan adalah BCR dengan tingkat suku bunga adalah 12 % dan umur rencana 30 tahun. Dari kajian yang dilakukan diperoleh nilai BCR 10.1 yang mengindikasikan bahwa jembatan tersebut layak secara ekonomi.(BenefitCost Ratio).
Layak Secara Ekonomi
Amdal

Dari dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), kemudian ditindaklanjuti dengan pelaksanaan Andal. Studi Andal untuk Jembatan Suramadu telah dilakukan oleh BPPT tahun 1992. Seiring dengan penundaan waktu dan perubahan yang terjadi, selama waktu penundaan serta Peraturan Pemerintah No 27.

Masalah lingkungan akan tetap kami perhatikan , dengan demikian akan dicapai manfaat pembangunan yang optimum dengan pengurangan dampak negatif.

tahun 1999 tentang kegiatan yang berpotensi memberikan dampak lingkungan, maka studi tersebut perlu diulang (review) kembali. Studi ulang Andal tersebut dilakukan sejak tahun 2003 dengan pelaksanaannya bekerjasama dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Tahap awal yang dilakukan adalah sosialisasi dan penyusunan Kerangka Acuan (KA)-Andal, dan dilanjutkan dengan penyusunan Andal, Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Pelaksanaannya kembali bekerjasama dengan ITS.

Seperti halnya proyek-proyek besar lainnya, pembangunan Jembatan Suramadu dan jalan aksesnya diperkirakan akan menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap lingkungan sekitar. Wilayah yang diperkirakan terkena dampak adalah Kecamatan Tambaksari, Bulak dan Kenjeran di Surabaya, Kecamatan Labang, Tragah dan Burneh di Kabupaten Bangkalan (Madura), serta alur Selat Madura yang merupakan sarana lalu- lintas dan sumber mata pencaharian nelayan. Karena itu analisis yang mendalam dan teliti sangat perlu dilakukan, sekaligus menyusun langkah antisipasinya.
Tujuan studi Amdal Jembatan Suramadu adalah:

Mengidentifikasi rencana pembangunan Jembatan Suramadu serta jalan aksesnya yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan geofisika-kimia, biologi dan social-ekonomi-budaya, langsung atau tidak langsung Memperkirakan dan mengevaluasi dampak penting yang akan terjadi pada lingkungan serta akibat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan saat pelaksanaan maupun pengoperasian Jembatan Suramadu dan jalan aksesnya.

Mengidentifikasi rona lingkungan awal yang terkena dampak. Menyusun Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Hasil penelitian dan evaluasi dari Andal ini digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan pengelolaan dan pemantauan dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Dengan demikian akan dicapai manfaat pembangunan yang optimum dengan pengurangan dampak negatif.
Sosialisasi

Masalah tentang Kehadiran Jembatan Suramadu
Sosialisasi atau pendekatan masyarakat yang terkait dengan masalah lingkungan perlu dilakukan untuk menghindari sudut pandang yang berbeda. Di tingkat propinsi telah dilakukan dengan mengundang seluruh komponen dan elemen masyarakat Madura dan Surabaya dalam Review Publik Amdal.

Proses sosialisasi juga dilakukan hingga tingkat kecamatan, baik di sisi Madura maupun

Surabaya. Secara umum dari hasil sosialisasi ini, masyarakat di kedua sisi menerima kehadiran pembangunan Jembatan Suramadu dan jalan aksesnya. Beberapa hal ekses negatif seperti dampak debu dan kebisingan akibat kegiatan konstruksi juga telah diantisipasi.

Masalah nelayan sempat menjadi perhatian. Jumlah tangkapan yang menurun yang menjadi alasan pemicunya. Sebuah demo kecil bahkan sempat terjadi oleh nelayan di Tambak Wedi yang menuntut ganti rugi. Pihak pelaksana tidak menutup mata. Masalah ini menjadi perhatian dan dilakukan penyelesaian. Akhirnya kata sepakat bertemu. Ganti rugi tidak diwujudkan dalam bentuk materi kepada perorangan, tetapi berupa perbaikan fasilitas umum, seperti balai pertemuan nelayan. Setelah itu hubungan dengan masyarakat nelayan menjadi mencair dan harmonis.

Dengan tahapan dan persiapan studi kelayakan yang terpadu dan keterlibatan masyarakat sekitar di dua sisi, membuat pembangunan Jembatan Suramadu ini dapat berjalan tanpa banyak benturan. Perhitungan teknis serta semangat turut merawat dan mengembangkan lingkungan dapat berjalan beriringan


Sumber :

http://www.suramadu.com/study/amdal/kelayakan-amdal.html