Rabu, 16 Desember 2009

AMDAL: Antara Lingkungan Versus Pembangunan

Seiring dengan Era kemajuan pembangunan di segala bidang, banyak menyisakan bencana kerusakan lingkungan yang mencengangkan bumi pertiwi ini. Seperti halnya dengan polusi dan kerusakan lingkungan di perkotaan dan pedesaan saat ini. Banjir, tanah longsor, erosi, pencemaran air, udara, dan berbagai kerusakan lainnya merupakan satu mata rantai yang dapat meruntuhkan keberlangsungan kehidupan manusia seutuhnya. Perubahan iklim lingkungan tersebut sangat terkait dengan menipisnya kesadaran dan kepedulian terhadap dampak negatif aktifitas manusia dan pembangunan yang semakin meningkat.

Akibatnya, meski telah dilakukan pola penanganan dampak dengan program AMDAL itu hanya sebatas pada dimensi prosedural belaka. Contoh nyatanya dan paling tragis adalah kasus lumpur Lapindo di Surabaya yang sampai saat ini belum tuntas. Tidak adanya keseriusan secara utuh bahwa institusi Negara maupun swasta yang menyelenggarakan pembangunan fisik seharusnya sadar dan penuh tanggung jawab terhadap konsekuensi logis akibat dari keberlanjutan aktifitas ekonomi tersebut. Kondisi ini, saya kira akan menjadi permasalahan serius bagi perwujudan keberhasilan penanganan dampak lingkungan kalau terus dibiarkan.

Indikator dari kondisi tersebut berawal dari kurang jelasnya konsep dan sinergisitas antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan swasta sebagai media pelaksana proyek dalam merumuskan kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan. Di lain hal faktor keikutsertaan seluruh stakeholder dalam proses penanganan dampak negatif maupun positif penyelenggaraan pembangunan tumpuan utamanya adalah masyarakat. Karena wujud dari tujuan pembangunan itu sendiri semata-mata demi kepentingan masyarakat luas.

Selama ini, Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sering dikesampingkan. Imbasnya berujung pada penanganan dampak lingkungan dari sebuah pembangunan infrastruktur, supra struktur. Dimana kepercayaan tingkat elit pemerintah hanya melibatkan kaum pemodal (swasta) mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasannya yang kurang efektif dan tidak efisien. Artinya kesatuan hidup masyarakat dan lingkungannya seharusnya menjadi bagian terpenting subjek dari orientasi pembangunan sama sekali tidak mendapat posisi yang jelas.

Alhasil, dualisme tujuan antara pembangunan yang berwawasan manusia serta lingkungan hidupnya dan pembangunan yang berorientasi fisik dan ekonomi pasar. Ini menyebabkan realisasi penerapan AMDAL pada proyek pembangunan bersifat setengah hati dan tidak berpihak pada masyarakat dan lingkungan. Realitas sosial saat ini, banyaknya program AMDAL pemerintah melalui instansi-instansinya di seluruh Indonesia terkesan tidak sinergis dan koordinatif dengan kondisi riil di lapangan. Apalagi saat ini pemerintah menerbitkan 9.000 dokumen mengenai analisis dampak lingkungan yang mungkin masih dipertanyakan tentang dokumen-dokumen itu, apakah muncul dari hasil identifkasi, observasi maupun elaborasi yang kritis. Malahan makin diragukan tahap implementasinya bisa terealisasi dengan baik. Bias permasalahan mengenai arti dampak sosial pembangunan dapat memperparah kesatuan manusia dan lingkungan hidup sekitarnya. Artinya pembangunan keberlanjutan jangan sampai menistakan dampak sosial, kesehatan, dampak positif, dampak negatif yang secara fisik dan naluriah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan alam Nusantara.

Seharusnya pemerintah tidak ahistoris dan parsial dalam menanggapi permasalahan ini. Sebagaimana diketahui, pelaksanaan AMDAL di Indonesia telah dimulai jauh lebih awal daripada undang-undang dan peraturan pemerintah, terutama dalam hal proyek-proyek pembangunan pemerintah maupun swasta yang menerima bantuan dari badan luar negeri yang mengaitkan pemberian bantuan itu perlu diimbanginya dengan AMDAL yang diberi bantuan untuk proyek tersebut.

Berdasarkan asas manfaatnya, sejatinya AMDAL bukanlah dijadikan buku resep (cook-book) yang dapat digunakan begitu saja secara tidak kritis. Cara penggunaan AMDAL secara prinsip sangat berbeda untuk jenis proyek dan lingkungan yang berbeda-beda pula. Usaha penyeragaman itu merupakan sebuah kelemahan yang sangat serius karena banyak AMDAL mengandung data yang tidak relevan dengan proyek yang sedang diteliti sehingga AMDAL itu tidak banyak berguna. Seharusnya AMDAL disesuaikan dengan jenis proyek pembangunan dan lingkungan yang telah ditelaah, karena jelas tidak ada dua proyek pembangunan dan lingkungan yang mempunyai sifat yang sama. Misalnya tidak ada dua bangunan gedung atau dua ruang bangunan rumah yang mempunyai sifat yang sama. Demikian pula tidak ada dua lingkungan yang identik sama. Masalah lingkungan bendungan di Jakarta juga dan pasti akan berbeda dari masalah lingkungan bendungan di Surabaya atau NTB. Bahkan dua bendungan yang di sungai yang sama, misalnya Bengawan Solo atau di kali Code mempunyai masalah lingkungan yang sangat terbatas. Identifikasi dan Evaluasi dampak lingkungan yang hanya bersifat tidak kritis dan cenderung subjektif membuat masalah lebih kompleks, oleh karena itu pelaksanaan AMDAL haruslah dilakukan secara kritis, baik menggunakan ilmu pengetahuan yang bersifat objektif maupun dengan pertimbangan yang bersifat subjektif kritis namun harus dilakukan secara rasional.

Artinya pemerintah harus serius serta tanggap untuk tidak menghalalkan persoalan kerusakan lingkungan makin kompleks. Solusi riilnya, tentu yang utama dan terpenting adalah kemauan baik pemerintah untuk betul-betul memahami akar persoalan ini dengan sepenuhnya melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Seiring dengan ruang partisipasi yang terbuka lebar maka pemerintah dapat mengeluarkan aturan ataupun regulasi yang tegas untuk menjelaskan pentingnya AMDAL bagi masyarakat dan lingkungannya. Sosialisasi dan publikasi mengenai peran dan fungsi aturan itu dapat terbangun dengan sendirinya. Dalam arti koordinasi, pengawasan serta proses pengkawalan akan terus berlangsung sampai pada tataran implementasinya. Misalnya melibatkan masyarakat, akademisi, swasta, pemerhati lingkungan, LSM, pers, ormas, organ kepemudaan, organ mahasiswa dan BEM, melalui seminar dan lokakarya mengenai kerusakan lingkungan ataupun keutamaan AMDAL. Dengan metode seperti ini, sinergisitas dan koordinasi antara pemerintah dengan seluruh stakeholder lebih-lebih swasta (pengusaha) sebagai kelompok berkepentingan dapat membawa angin segar terciptanya pemahaman, kepedulian, kesadaran bahwa pembangunan haruslah berwawasan lingkungan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pada akhirnya, gerakan bersama bangsa ini dapat mewujudkan proyek pembangunan di seluruh nusantara ini yang ramah dan tidak merugikan masyarakat, hingga secepatnya tercapai kesejahteraan rakyat, flora fauna, dan nilai estetika alam.

Semoga usaha penanggulangan serta penanganan kerusakan lingkungan adalah babak baru peningkatan kualitas hidup alam bagi pembangunan kesejahteraan hidup rakyat Indonesia.

Sumber :

Bob Rusdin Abdullah Rumba

http://www.sumbawanews.com/berita/opini/amdal-antara-lingkungan-versus-pembangunan.html

6 November 2008

1 komentar:

  1. sore,
    Saya tertarik dgn materi blog ini dan butuh konsultasi banyak masalah amdal ini, berkaitan dengan akan dibangunnya hotel > 10 tingkat di depan rumah saya (hanya berjarak 2 mobil berjajar dari depan pagar, dan kemungkinan menggunakan crane) dan "gedung" parkir persis disamping rumah (kawasan hunian).

    Kiranya bisa dibantu utk berkonsultasi atas dampak kerusakan selama dan setelah masa pembangunan, serta perjanjian apa saja yg bisa diusahakan berkaitan dgn ganti rugi atas kerusakan yg mungkin terjadi.

    Best regards

    Gusti

    BalasHapus