Rabu, 16 Desember 2009

Amdal Dan 10.000 Studi Yang Menjadi sampah

Bermula dari Amerika Serikat, tahun 1969. The National Enviromental Policy Act of 1969 (NEPA 1969) diperkenalkan sebagai sebuah instrumen untuk mengendalikan dampak segala macam kegiatan yang bisa merusak kelestarian lingkungan. Bentuknya peraturan. Dalam perkembangan selanjutnya, peraturan ini diadopsi oleh banyak negara.

Tahun 1982, Indonesia mengeluarkan undang-undang (UU) lingkungan hidup. Dari sinilah masyarakat Indonesia mengenal istilah analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). UU ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1986, yang kemudian diganti PP Nomor 51 Tahun 1993, dan terakhir diganti lagi dalam PP Nomor 27 Tahun 1999..

Pemerintah membentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Bapedal) melalui Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 untuk melengkapi pelaksanaan peraturan tersebut. Ada tingkat pusat dan daerah, meskipun keduanya tidak memiliki hubungan hierarki struktural. Bapedal pusat kini berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup.

Badan-badan itu menjadi benteng pembela kepentingan ekologi atau lingkungan. Meskipun Pada praktiknya, kepentingan yang hakikatnya adalah kepentingan bersama dan bersifat jangka panjang itu sering terkalahkan oleh kepentingan praktis materialis yang disebut kepentingan ekonomi. Studi amdal menjadi formalitas saja. Seperti disebutkan dalam website Sinar Harapan, sebanyak sepuluh ribu hasil studi amdal di Indonesia teronggok menjadi kertas dokumen tak terlaksanakan.

Di provinsi Jawa Barat Misalnya, sebuah propinsi yang derap pembangunannya deras terasa, pelaksanaan amdal menuai banyak kritik dari para pemerhati lingkungan, salah satunya Walhi Jabar, yang baru-baru ini mengecam keras pembangunan PLTSa. Dugaan manipulasi amdal maupun praktek kolusi pun menyeruak tatkala banyak proyek pembangunan dijalankan sebelum izin amdalnya lolos.
Bermacam proyek seperti mal, rumah sakit, jalan raya, taman nasional, asrama mahasiswa.

Terkait dengan pembangunan dan otonomi daerah, keberpihakan pada lingkungan tetap dinomorduakan. Seperti yang di ungkapkan salah satu staf kementrian Lingkungan Hidup terkait dengan revitalisasi amdal. Pernyataan tersebut yang tersirat tujuannnya hanya untuk memuluskan laju investasi, bukannya semakin memperketat kemungkinan pelanggaran linkungan.. Alhasil, degradasi lingkungan pun semakin meluas.
pembangunan proyek terus dijalankan meski persoalan dampak lingkungannya belum terpikirkan. Lantas kemanakah keberpihakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebagai pengambil keputusan? Semua pihak tak seharusnya menutup mata karena sebenarnya masalah ekologi adalah untuk kepentingan masa depan umat manusia sendiri. Namun inilah dunia amdal. Sebuah penghilangan hak atas lingkungan hidup, bermula dari suatu dokumen bernama amdal.

Proses pengerjaan dokumen amdal yang penuh manipulasi menuai banyak kritik dari para pemerhati lingkungan. Pun kurangnya sosialisasi membuat masyarakat yang seharusnya menjadi pemantau pelaksanaan tidak tahu menahu tentang dokumen tersebut.
?Di Indonesia hampir 84 persen dokumen amdal belum memenuhi syarat, 16 persen berkriteria baik, tapi belum memenuhi syarat ideal,? tukas Harry Supriyono, salah satu pakar amdal dari Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM mengenai kualitas dokumen amdal. ?Banyak yang masih sebatas amdal-amdalan, banyak amdal fotokopi dan amdal fiktif,? ungkapnya.

ebih lanjut ia mengemukakan, saat ini masih banyak terjadi peniruan dokumen amdal. Hanya dengan mengubah tempat, tanggal dan angka, maka pemrakarsa dapat memperoleh dokumen amdal dengan mudahnya.

Tidak adanya kriteria dan indikator penilaian, menjadikan proses penilaian dokemen ini menjadi subyektif. Padahal kajian amdal bersifat obyektif, bukan subyektif karena tunduk pada metodologi.

Penyusunan dokumen amdal memang harus dilakukan secara sistematis, ilmiah, dan berurutan. Sejak tahun 1970 sampai saat ini sudah banyak metode digunakan dalam penyusunan dokumen ini. Metode yang banyak digunakan adalah metode Leopold, Moore dan Sorenson.

Amdal saat ini hanya sebatas alat burgen bagi kepentingan kelompok tertentu. Buktinya, industri-industri besar yang banyak mencemari lingkungan tetap berdiri kokoh dan makin luas. Pemerintah selalu beralasan, jika dengan inustri di suatu daerah dapat meningkatkan PAD dan menyerap tenaga kerja daerah setempat. Namun, pemerintah tidak pernah berpikir jika pembangunan yang di rencanakan bertahun-tahun dapat hilang dalam hitungan detik ketika terkena bencana akibat degradasi lingkungan.
Semua pihak yang saat ini semanagt dalam memperjuangkan lingkungan, mesti fokus untuk terlibat dalam pengawasan ke-objektifan amdal, bila perlu membentuk lembaga pengawas amdal. Hal ini penting penting, krena dari seian kebijakan, Amdal - lah yang paling lemah untuk di awasi oleh masyarakat. Selain pihak berwenang kurang transparan, dokumen amdal sendiri sudah menjadi konnspirasi kelompok yang hanya berpikir tentang keuntungan.

Dalam PP no 27 tahun 1999 di sebutkan, bahwa amdal merupakan kajian bagi dampak besar atau penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup, yang di perlukan bagi proses pengambilan keputusan dalam suatu usaha atau kegiatan. namun kebijakan tersebut ternnyata melemah setelah berbenturan dengan PP 20 no 27 tahun 1999 pasal 9. jika dalam waktu 71 hari, pemerintah belum mengambil keputusan layak atau tidaknya amdal suatu usaha, maka usaha tersebut dinilai layak lingkungan.

tentunya, hal itu memberikan pukulan berat bagi para pecinta lingkungan hidup. Pasalnya, dalam aturan tersebut sangat terbuka ruang kolusi bagi pejabat di pemerintahan terkait dengan tidak mengeluarkan keputusan selama 71 hari.
hal itu berbuntut pada sepuluh ribu dokumen hasil riset mengenai amdal di indonesia hanya masuk ke keranjang sampah tanpa tindak lanjut.

Sumber :
April Perlindungan
http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/02/myposting_10603.html
22 Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar